Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi
Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diperkenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji suatu produk hukum konstitusional dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu, perlu diadakan organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi.1.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan pengadilan khusus (special tribunal) yang pertama kali dibentuk di Austria pada tahun 1920, dimana konsep ini diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Terbentuknya MK di Austria dengan tujuan untuk melaksanakan fungsi pengujian konstitusionalitas (contitutional review).
Pembentukan Mahkamah Konstitusi tersebut telah diikuti oleh negara lain, seperti Cekoslowakia, yang mengadopsi mekanisme pengujian konstitusionalitas (constitutional review).
Indonesia Negara ke-78 Membentuk MK
Saat ini, terdapat 78 negara yang memiliki MK sebagai lembaga terpisah dari Mahkamah Agung. Indonesia sendiri adalah negara ke-78 yang membentuk MK. Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia dibentuk pada tahun 2003, menjadikan Indonesia negara ke-77 yang mengadopsi MK dalam sistem ketatanegaraannya. MK berperan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bersama dengan Mahkamah Agung (MA).
Di Indonesia, MK dibentuk sebagai bagian dari reformasi ketatanegaraan pasca-reformasi 1998. Konsep MK diadopsi melalui perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada November 2001. Pembentukan MK kemudian dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang disahkan pada 13 Agustus 2003. Para hakim konstitusi dilantik pada 16 Agustus 2003, dan MK mulai beroperasi secara efektif pada 19 Agustus 2003. Dengan terbentuknya MK, kekuasaan kehakiman di Indonesia bertambah, yang sebelumnya hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA).
Sebagai lembaga tinggi negara, MK memiliki kedudukan yang sejajar dengan MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, dan MA, serta memiliki fungsi utama sebagai constitutional court sesuai Pasal 24C UUD 1945. MK berperan dalam menegakkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusionalisme, checks and balances, serta perlindungan hak asasi manusia.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24C UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam hal:
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan utama untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003. Kewenangan ini dikenal sebagai Judicial Review, yang terbagi menjadi dua jenis:
- Pengujian Formal, yaitu menilai apakah proses pembentukan undang-undang telah sesuai dengan prosedur konstitusional.
- Pengujian Materiil, yaitu menilai apakah isi (materiil) undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD 1945.
MK hanya dapat melakukan pengujian jika ada permohonan dari pihak yang merasa dirugikan hak atau kewenangan konstitusionalnya, seperti WNI, masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara. Jika MK menyatakan suatu ketentuan undang-undang bertentangan dengan UUD, maka ketentuan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan mengikat, meskipun pencabutannya tetap menjadi wewenang pembentuk undang-undang.
Mahkamah Konstitusi berwenang Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD, seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, dan Komisi Yudisial.
Menurut Jimly Asshiddiqie, secara definitif, yang dimaksud dengan sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antar lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga tersebut.
MK berwenang memutus pembubaran partai politik
Kewenangan untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik (parpol) hanya dimiliki oleh pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UU No. 24 Tahun 2003. Pemerintah, yang dipimpin oleh Presiden, dapat menunjuk pihak tertentu untuk mewakilinya dalam mengajukan permohonan ini.
Jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membubarkan suatu parpol, eksekusinya dilakukan dengan membatalkan pendaftaran partai pada pemerintah. Sebelumnya, berdasarkan UU No. 2 Tahun 1999, kewenangan pembubaran parpol berada di tangan Mahkamah Agung (MA), namun kini telah dialihkan kepada MK sebagai bagian dari reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu)
Dalam sistem pemilu di Indonesia, perselisihan hasil pemilu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat diajukan untuk diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), jika ada peserta pemilu yang merasa dirugikan.
Meskipun demikian, permohonan tersebut hanya dapat diterima jika perubahan perhitungan suara tersebut mempengaruhi hasil peringkat perolehan suara yang dapat mengubah hasil pemilu, seperti perolehan kursi DPR/DPRD atau menentukan terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Permohonan yang tidak mengubah hasil pemilu secara signifikan, meskipun ada kesalahan perhitungan suara, akan dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK.
Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD
Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, sesuai dengan ketentuan dalam UUD.
Pelanggaran hukum yang dimaksud dalam hal ini diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yang mencakup:
- Pengkhianatan terhadap negara;
- Korupsi;
- Penyuapan;
- Tindak pidana berat lainnya, atau
- Perbuatan tercela.
Jika DPR memberikan pendapat mengenai dugaan pelanggaran tersebut, MK memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah dugaan tersebut terbukti dan apakah pelanggaran tersebut memenuhi syarat untuk membawa Presiden dan/atau Wakil Presiden ke dalam proses lebih lanjut, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UUD.
Memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) mengalami perubahan sejak 2008. Awalnya, kewenangan ini berada di bawah Mahkamah Agung (MA), tetapi dialihkan ke MK melalui Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008.
Namun, pada tahun 2014, MK mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008. Putusan ini menyatakan bahwa sengketa hasil Pilkada harus ditangani oleh badan peradilan khusus, sehingga kewenangan MK dalam hal ini dihapuskan.
Perkembangan terbaru, melalui Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada kembali ditegaskan sebagai kewenangan MK. Hal ini membatalkan ketentuan sebelumnya yang menunggu pembentukan badan peradilan khusus, sehingga MK tetap menjadi lembaga yang berwenang menangani sengketa hasil Pilkada di Indonesia.
- (https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1&menu=2) ↩︎