KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Kekuasaan kehakiman dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 disebut dalam BAB IX, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negera. Kekuasaan negara yang dimaksud adalah kekuasaan negara yang merdeka. Kemudian digunakan untuk apa kekuasaan negara yang merdeka ini, tentu saja menyelenggarakan peradilan sehingga tercapainya penegakan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Maksud “Kekuasaan yang Merdeka”

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti bahwa badan peradilan harus bersifat mandiri tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun.

Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka maksudnya bahwa badan-badan peradilan bersifat mandiri dan tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun. “Mandiri” di sini artinya bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis (lihat penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004).

Mandiri dalam konteks ini berarti:

  • Bebas dari campur tangan pihak eksekutif, legislatif dan pihak manapun.
  • Bebas dari tekanan fisik maupun psikis.
  • Menjalankan tugas berdasarkan prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.

Lembaga yang Menjalankan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya diperjelas dalam Pasal 24 ayat (3) yang menegaskan “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh:

  1. Mahkamah Agung (MA)dan badan peradilan di bawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara);
  2. Mahkamah Konstitusi (MK);
  3. Badan-badan lainyang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, seperti Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga arbitrase.

Kewenangan Mahkamah Agung (MA)

Menurut Undang-Undang Dasar, kewenangan Mahkamah Agung (lihat Pasal 24A), yaitu:

  1. mengadili pada tingkat kasasi;
  2. menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
  3. mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung diatur dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini kemudian mengalami perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan kedua dilakukan tahun 2009 melalui undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK)

Kewenangan MK berdasar UUD (vide Pasal 24C), yaitu:

  1. mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang—undang terhadap Undang-Undang Dasar;
  2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
  3. memutus pembubaran partai politik; dan
  4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

selain kewenangan tersebut di atas, MK mempunyai kewajiban yaitu Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Tata Negara, keberadaan lembaga peradilan itu sangat penting karena 3 (tiga) alasan, yaitu;

  1. Pengadilan merupakan pengawal konstitusi;
  2. Pengadilan bebas merupakan unsur negara demokrasi;
  3. Pengadilan merupakan akar negara hukum.

Peradilan dan Pengadilan

Peradilan adalah proses penyelesaian perkara yang dijalankan oleh pelaku kekuasaan kehakiman dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Sedangkan pengadilan adalah badan yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara.

Sejarah Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Sejarah kekuasaan kehakiman pada masa penjajahan Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan.

Pada Masa Penjajahan Belanda

Sistem peradilan pada masa Hindia Belanda tidak seragam dan didasarkan pada golongan penduduk, yaitu:

  • Golongan Eropa;
  • Golongan Bumiputera; dan
  • Golongan Timur Asing.

Pada masa Hindia Belanda, dikenal tiga jenis peradilan, yaitu:

  • Peradilan Gubernemen (Gouvernements Rechtspraak);
  • Peradilan Bumiputera; dan
  • Peradilan Swapraja

Pada Masa Pendudukan Jepang

Jepang menghapus sistem peradilan kolonial Belanda dan menerapkan sistem yang lebih seragam bagi seluruh penduduk, sistem peradilan disederhanakan dengan menghapus perbedaan golongan penduduk dan menetapkan tiga tingkatan pengadilan:

  • Tihoo Hooin – Pengadilan tingkat pertama;
  • Oota Hooin – Pengadilan banding, dan
  • Saikoo Hooin – Mahkamah Agung

Setelah kemerdekaan, lembaga-lembaga tersebut dihapus dan disesuaikan dengan UUD 1945.

Peraturan Perundang undangan setelah kemerdekaan

Setelah masa kemerdekaan, kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana undang-undang ini menghapus peraturan-peraturan kekuasaan kehakiman sebelumnya;
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mana Undang-Undang ini mencabut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 dan terjadi penghapusan pengadilan adat dan swapradja;
  3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
  4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang selanjutnya menegaskan dalam BAB X Ketentuan Penutup Pasal 47, bahwa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan undang-undang ini;
  5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana undang-undang ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan menegaskan dalam ketentuan penutup Pasal 63 bahwa pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua ketentuan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Lingkungan Peradilan di Indonesia

Empat peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Umum

Diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2004 (perubahan pertama) dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 (perubahan kedua).

Pengadilan yang termasuk dalam peradilan umum yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.

  1. Pengadilan Negeri– Pengadilan negeri pada prinsipnya merupakan pengadilan tingkat pertama yang mengadili perkara pidana dan perdata. Kewenangan absolut Pengadilan Negeri, telah diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 juga dapat dibentuk peradilan khusus dibawah lingkungan peradilan umum misalnya: Pengadilan Anak, Pengadilan HAM, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Perikanan, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).
  2. Pengadilan Tinggisebagai pengadilan tingkat banding.

Peradilan Agama

Peradilan Agama diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, selanjutnya perubahan kedua melalui Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pasal 49  Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

  1. perkawinan ;
  2. waris ;
  3. wasiat ;
  4. hibah ;
  5. wakaf ;
  6. zakat ;
  7. infaq ;
  8. shadaqah; dan
  9. ekonomi syari’ah;

Pengadilan yang termasuk dalam lingkup peradilan agama yaitu pengadilan agama dan pengadilan tinggi.

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dalam lingkup peradilan agama, sedangkan pengadilan tinggi agama merupakan pengadilan tingkat banding.

Contoh satuan kerja pengadilan agama antara lain: Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Sleman, Pengadilan Agama Denpasar, dan Pengadilan Agama Semarang.

Contoh pengadilan tinggi agama antara lain: Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Semarang, dan Pengadilan Tinggi Agama Denpasar.

Peradilan Militer

Peradilan Militer diatur dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.

Pengadilan Militer memiliki kewenangan tersendiri antara lain (lihat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997):

  1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
  2. Prajurit;
  3. yang berdasarkan undang-undang dengan Prajurit;
  4. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
  5. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pangadilan dalam lingkungan peradilan militer.
  6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
  7. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satuputusan.

Badan Peradilan militer merupakan salah satu Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung. Dalam Badan Peradilan Militer terdiri dari:

  1. Pengadilan Militer, yang merupakan peradilan tingkat pertama bagi prajurit berpangkat Kapten ke bawah;
  2. Pengadilan Militer Tinggi, yang merupakan pengadilan tingkat banding yang mendapat limpahan perkara dari Mahkamah Militer, sekaligus merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit berpangkat Mayor ke atas, sengketa Tata Usaha Militer, sengketa kewenangan Pengadilan Militer di dalam wilayah hukumnya; dan
  3. Pengadilan Militer Agung, merupakan Pengadilan tingkat banding yang mendapat limpahan perkara dari Pengadilan Militer Tinggi, baik dalam perkara pidana militer, dalam perkara sengketa tata Usaha Militer maupun sengketa kewenangan antar pengailan militer dan ksengketa kewenangan Pengadilan Militier Tingi.

Peradilan Tata Usaha Negara

Ketentuan tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa tata usaha Negara yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku dalam sistem kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Peran dan fungsinya diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menetapkan bahwa MK memiliki empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) serta satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Ketentuan tersebut diperjelas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a hingga d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan MK yait:

  1. mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang—undang terhadap Undang-Undang Dasar;
  2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
  3. memutus pembubaran partai politik; dan
  4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (lihat Pasal 24C UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003)

Selain itu, MK memiliki kewajiban untuk memberikan putusan terkait pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum, perbuatan tercela, atau ketidaksesuaian syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksud UUD 1945.

Sebagai pengingat Pancasila dan Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945

5 butir Pancasila yaitu:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
  3. Persatuan Indonesia;
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

Pembukaan (Preambule)

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi selurah rakyat Indonesia.

Kesimpulan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Prinsip utama dari kekuasaan kehakiman adalah kemandirian, yang berarti bebas dari campur tangan pihak manapun agar dapat menjalankan tugasnya dengan adil dan tidak berpihak.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya (peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara) serta oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu, terdapat badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang. Hal ini bertujuan untuk menjamin sistem peradilan yang berkeadilan dan sesuai dengan prinsip negara hukum.

Mahkamah Agung

Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan kewenangan yang diatur dalam Pasal 24A UUD 1945 demi terselenggaranya negara hukum.

Regulasi mengenai Mahkamah Agung telah mengalami beberapa perubahan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, kemudian direvisi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan terakhir diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.

Pada Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang

Pada masa Hindia Belanda, sistem peradilan di Indonesia tidak seragam dan dibagi berdasarkan golongan penduduk, yang terdiri dari: peradilan Gubernemen, peradilan Bumiputera, dan peradilan Swapraja. Penduduk dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu golongan Eropa, Bumiputera, dan Timur Asing, yang masing-masing memiliki sistem hukum tersendiri.

Saat pendudukan Jepang (1942-1945), sistem peradilan diubah dengan menghapus perbedaan berdasarkan golongan penduduk dan menyatukan peradilan dalam tiga tingkatan, yaitu Tihoo Hooin (pengadilan tingkat pertama), Oota Hooin (pengadilan banding), dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung).

Namun, setelah kemerdekaan Indonesia dan pengesahan UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, lembaga-lembaga peradilan yang dibentuk oleh Jepang dihapuskan, dan sistem peradilan nasional mulai disusun sesuai dengan prinsip negara hukum yang merdeka dan berdaulat.

Masa Setelah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan, berbagai peraturan perundang-undangan diterbitkan untuk mengatur kekuasaan kehakiman di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut mengalami beberapa perubahan dan penyempurnaan, di antaranya:

  • UU No. 19 Tahun 1964, yang menghapus peraturan-peraturan sebelumnya terkait kekuasaan kehakiman.
  • UU No. 14 Tahun 1970, yang mencabutUU No. 19 Tahun 1964 dan menghapus pengadilan adat serta swapraja.
  • UU No. 35 Tahun 1999, yang merupakan perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970.
  • UU No. 4 Tahun 2004, yang menegaskan bahwa ketentuan kekuasaan kehakiman sebelumnya tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang baru.
  • UU No. 48 Tahun 2009, yang mencabut UU No. 4 Tahun 2004 dan menegaskan bahwa peraturan pelaksanaan kekuasaan kehakiman tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Perubahan-perubahan ini mencerminkan perkembangan sistem peradilan di Indonesia dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan berkeadilan sesuai dengan prinsip negara hukum.

Peradilan Umum dan Peradilan Agama

Pengaturan terkait Peradilan Umum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, yang telah mengalami perubahan melalui UU No. 8 Tahun 2004 dan UU No. 49 Tahun 2009. Peradilan umum mencakup Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang menangani perkara pidana dan perdata, serta Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding.

Selain itu, dalam lingkungan peradilan umum juga dapat dibentuk peradilan khusus, seperti Pengadilan Anak, Pengadilan HAM, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, dan Pengadilan TIPIKOR.

Contoh satuan kerja pengadilan negeri di Indonesia meliputi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Surabaya, Denpasar, Makassar, Semarang, Mataram, dan lainnya. Peradilan umum berperan penting dalam menyelenggarakan proses peradilan bagi masyarakat umum sesuai dengan hukum yang berlaku.

Peradilan Agama di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang kemudian mengalami perubahan pertama melalui UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua melalui UU No. 49 Tahun 2009.

Berdasarkan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk menangani perkara tingkat pertama bagi umat Islam di bidang:

  1. Perkawinan;
  2. Waris;
  3. Wasiat;
  4. Hibah;
  5. Wakaf;
  6. Zakat;
  7. Infaq;
  8. Shadaqah; dan
  9. Ekonomi Syariah

Peradilan Agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding. Contoh satuan kerja Pengadilan Agama di Indonesia adalah Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Sleman, Denpasar, dan Semarang.

Peradilan Agama berperan penting dalam menyelesaikan perkara hukum antara orang-orang yang beragama islam.

Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara

Berada di bawah Mahkamah Agung, Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Pengadilan Militer juga memiliki kewenangan tersendiri yaitu mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: Prajurit, yang berdasarkan undang-undang dengan Prajurit, anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang, seseorang yang tidak masuk golongan tersebut di atas tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pangadilan dalam lingkungan peradilan militer; Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata; dan Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satuputusan.

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Undang-undang ini kemudian mengalami perubahan melalui UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009.

Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha Negara yang dimaksud timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PTUN berperan penting dalam mengawasi tindakan administrasi pemerintahan agar tetap sesuai dengan hukum serta memberikan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara.

Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah pelaku dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berperan sebagai penjaga konstitusi. MK memiliki empat yaitu: kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Memutus pembubaran partai politik; dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, MK memiliki satu kewajiban konstitusional, yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden atau Wakil Presiden, perbuatan tercela, atau ketidaksesuaian syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksud UUD 1945. Dengan kewenangan dan kewajibannya, MK berperan penting dalam menjaga konstitusionalitas hukum, stabilitas politik, dan demokrasi di Indonesia.

Scroll to Top